Siapakah orang Jerman?
Bagaimana komunitas ini terbentuk?
Sebenarnya bangsa Jerman berasal dari Skandinavia Selatan.
Karena keadaan cuaca yang memburuk pada abad ke-2 SM, mereka terpaksa mengungsi
ke selatan. Maka tibalah mereka di wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Jerman. Di sana memang sebagian besar masih hutan belantara, namun demikian
bukan berarti daerah itu tidak bisa didiami. Saat pertama kali masuk ke sana,
bangsa Jerman bertemu dan bergabung dengan suku Celtis dan terdampar di
perbatasan kerajaan Romawi. Karena sulitnya bahan pangan pada saat itu
suku-suku tersebut sering menjarah makanan dari kota-kota jajahan Romawi.
Tak heran, kemarahan sudah barang tentu tidak
terhindarkan. Bangsa Romawi tentu tidak mengizinkan kaum bar-bar (Bart =
janggut) yang tidak berpendidikan ini memasuki kerajaan mereka seenaknya
menjarah secara membabi buta. Untuk menahan serangan bangsa Jerman ke selatan
ini, pada abad pertama atau kedua SM, mereka membangun Limes (sebuah benteng
perbatasan yang melintang lebih dari 500 Km dan membelah Jerman pas di
tengah-tengah). Limes ini memisahkan provinsi-provinsi taklukan Romawi dari
wilayah-wilayah yang selanjutnya diduduki oleh suku-suku bangsa Jerman. Akan
tetapi Jangan dikira bahwa perbatasan tersebut yang terjadi hanyalah perang
melulu. Antara bangsa Jerman dan Romawi pun terjalin hubungan dagang.
Bukan hanya itu: Bangsa Jerman yang hidup di luar Limes, semakin
lama semakin menyerap gaya hidup dan kebudayaan sang penakluk. Banyak yang
mampu menjadi tentara Romawi dan bahkan naik pangkat. Pertanyaannya
adalah; Apakah dengan itu bangsa Jerman menjadi penerus sejati Romawi? Sama
sekali tidak. Contoh yang paling jelas adalah Raja Cherusk Arminus. Meskipun ia
belajar di Roma, ia menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa asing. Pada
tahun 9, tentaranya mengalahkan tentara Romawi di bawah pimpinan Varus di Hutan
Teutoburg.
Bagaimana kehidupan bangsa Jerman di luar Limes? Setiap suku
bangsa memiliki kepala suku yang menguasai daerah bebas. Sejak saat itu semakin
sering saja perampok keturunan Jerman menjarah kota-kota taklukan Romawi,
bahkan kota Romawi tidak lagi aman dari jangkauan mereka. Tanggal 23 Agustus
tahun 476 imperium dunia ini berakhir, kaisar terakhir Romulus Agustulus
dijatuhkan oleh tentaranya sendiri. Kawasan yang dulunya dikuasai bangsawan
Romawi, yakni sampai ke Spanyol dan Afrika Utara, Akhirnya Jaruh ke tangan
bansa Jerman.
Sementara itu, bangsa Jerman tidak terlalu paham bagaimana harus
mengurus peninggalan budaya dan arsitektur Roma, mereka merasakan adanya daya
tarik magis yang kuat dari agama musuh yang mereka taklukkan. Para misionaris
akhirnya dapat mengkristenisasi bangsa Jerman dengan cara membuktikan kepada
orang-orang Jerman tentang ketidakberdayaan dewa-dewa mereka. Di dekat Geismar
ada pohon Eik yang konon sudah diberkati Dewa Donar, mereka menebang pohon itu
lalu membangun gereja dari kayu pohon tersebut.
Sejak Runtuhnya imperium Romawi, bangsa Prancis bangkit dan
memimpin bekas jajahan Romawi, mereka dipimpin oleh seorang raja, yaitu Raja
Chlodwig yang dibaptis oleh Paus pada tahun 498. Secara Politis raja Chlodwig
berhasil menyatukan bangsa Prancis (baik dengan cara kekerasan), yang pada saat
itu terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil. Dari Gallia dan kawasan Jerman
(bekas jajahan Romawi), ia mendirikan kekaisaran baru, yaitu kekaisaran
Prancis. Keluarga Merowinger (nenek moyang Chlodwig) menguasai kekaisaran ini
selama berabad-abad tanpa gangguan yang berarti.
Dari wilayah selatan pasukan Arab bergerak maju menuju Gallia
melewati semenanjung Iberia dan terjadi pertempuran sengit. Dalam
pertempuran di Poitiers (Perancis Selatan) pada bulan Oktober 732, Karl
Martel (seorang menteri Perancis) berhasil menahan dan memukul mundur pasukan
Arab. Pemenang pertempuran di Poitiers (Karl Matell) adalah nenek
moyang dinasti Karolinger. Dari generasi ke generasi mereka mengabdi pada
raja-raja keturunan Merowinger sebagai menteri, namun pada akhirnya mereka
merebut takhta pada penguasa terakhir dari dinasti Merowinger.
Karl der Groβe
Penguasa yang paling terkenal dari dinasti Karolinger adalah
Karl der Groβe (Karl yang Agung). Pada
awalnya dia harus berbagi kekuasaan dengan kakaknya, namun kematian dini sang
kakak tahun 771 menjadikan Karl der Groβe sebagai penguasa tunggal.
Ia mengembangkan wilayah kekuasaannya ke segala penjuru: ke Perancis Selatan
dan Spanyol, ke Italia Utara dan Sakson. Karl der Groβe kemudian dinobatkan oleh Paus menjadi kaisar, kemudian ia
menobatkan dirinya sendiri sebagai penerus penguasa Imperium Romawi. Suatu
perbedaan dari kaisar-kaisar Romawi terdahulu; Karl der Groβe tidak mengendalikan pemerintahannya dari Roma. Baik ia maupun
penerus-penerusnya sama-sama tidak menguasai ibukota dalam pengertian klasik.
Mereka memerintah dari atas pelana dan berpindah-pindah dari satu puri ke puri
lainnya. Tentu saja Karl der Groβe memiliki puri pavorit,
yaitu Puri Achen. Tanggal 28 Januari 814 Karl der Groβe meninggal di Achen. Ornamennya masih utuh sampai saat ini;
sebuah kapel segi delapan lengkap dengan takhta kekaisaran. Karl der Groβe bukan saja seorang politikus ulung, namun juga sangat
menghormati pelestarian budaya dan ilmu pengetahuan.
Ludwig der Weise
Penerus Karl der Groβe adalah putera mahkota
Ludwig der Weise. Ia berhasil menjaga keutuhan kerajaan, namun ia tidak
berhasil menyamai keberhasilan ayahanda-nya yang banyak melakukan ekspansi
kekuasaan. Pada tanggal 20 Juni 840 Ludwig der Weise meninggal dunia.
Sepeninggal Ludwig der Weise terjadi perebutan kekuasaan oleh ketiga putranya.
Perlu diketahui, dalam tradisi Jerman anak tertua tidak otomatis menjadi
penerus. Hak waris harus dibagi rata kepada semua anak laki-laki (kedengarannya
memang adil), tapi agak kontraproduktif jika menyangkut masalah kekuasaan yang
luas.
Lothar / Karl der Kahle / Ludwig der
Deutsche
Ketiga putra Ludwig der Weise, yang haus dengan kekuasaan itu
mengadakan perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian VERDUN, yang membagi
wilayah kerjaan Perancis menjadi tiga wilayah,
yaitu: Lothar (mendapatkan kawasan tengah yang membentang dari Italia
tengah melalui Lothringen sampai ke pantai laut utara), Karl der
Kahle (mendapatkan kawasan Prancis Barat), dan Ludwig der
Deutsche(Mendapatkan kawasan Perancis Timur).
Ketiga saudara ini mungkin tidak menyadari bahwa perjanjian yang
telah mereka lakukan kelak akan menjadi landasan dalam pembentukan dua
negara: Prancis Barat (simpelnya menjadi negara Prancis sekarang),
sedangkan negara Prancis Timur (Negara Jerman sekarang). Begitu pula
negara-negara, yang berdiri di kawasan tengah, pada dasarnya mengacu pula pada
perjanjian ini, demikian halnya batas-batas bahasa di antara masing-masing
negara.
Karena yang menjadi tema bahasan kita di sini adalah sejarah
Jerman, maka kita tinggalkan saja Prancis Barat dan alihkan perhatian kita
selanjutnya terhadap segala kejadian di Perancis Timur (yang sekarang Jerman).
Pemimpin terakhir dari dinasti Karolinger yang berkuasa di wilayah ini adalah
Ludwig der Sohn (meninggal th. 911). Pemikiran rakyat Jerman pada saat itu
adalah; Dari pada kembali bersatu dengan Prancis Barat (yang berarti harus
takluk terhadap penguasa dari dinasti Karolinger), keturunan Perancis Timur
lebih memilih raja yang bukan keturunan Karolinger. Setelah kematiannya pada
bulan Desember 918 rakyat Perancis Timur tidak kembali ke pelukan keluarga Karl
der Groβe, melainkan memilih Adipati
Sakson “Heinrich” sebagai raja mereka. Hal ini menunjukkan sikap dewasa yang tidak
lagi tergantung pada isu primordialisme sebagai keturunan Perancis.
Heinrich I (Murni Orang Jerman)
Pria Sakson ini berhasil mengatasi segala kesulitan, terutama
berkat kesediannya bekerja sama dengan pengusa-penguasa negara lain, dengan
tidak memperlakukan mereka sebagai taklukan, melainkan sebagai partner.
Heinrich dan para pengikutnya membangun kerja sama dengan gereja dan berhasil
menjaga stabilitas keamanan politik dan ekonomi negeri Jerman.
Otto der Groβe
Penerus Heinrich I adalah puteranya, Otto. Pada awalnya ia harus
bertikai dulu dengan sanak saudaranya, namun ia bukan hanya mampu
mempertahankan mahkota dari segala rongrongan musuh saja, lebih dari itu, ia
berhasil menetapkan aturan berupa penyerahan kekuasaan kepada putera mahkota.
Otto berhasil menguasai seluruh kadipaten melalui jalinan pernikahan. Otto pun
berhasil memposisikan dirinya sebagai seorang penerus kekaisaran Romawi. Di
tangan Otto, para Paus ibarat bola mainan. Dua orang diantaranya ia tempatkan
dalam pemerintahan. Ia bukan hanya sebagai penguasa Eropa, melainkan juga
sebagai pemimpin rohani. Seperti juga pendahulunya Karl, ia pun dijuluki “Otto
der Groβe”.
Kaisar-kaisar Jerman setelah Otto;
Setelah Otto mangkat, Takhta Kepausan mulai menguat, Raja
Heinrich IV yang berusaha meniru para pendahulunya, yang ingin memegang
kekaisaran Romawi dikucilkan oleh gereja. Raja Heinrich IV pun terpaksa pergi
melintasi pegunungan Alpen padahal cuaca pada saat itu bersalju. Dia tahu; saat
itu di wilayah Carnossa di Italia Utara bermukim Paus Gregor VII. Heinrich IV
datang bukan dengan tujuan untuk berperang melawan sang Paus, melainkan dalam
jubah seorang Penobat. Para bangsawan Jerman membujuknya untuk berdamai dengan
sang Paus. Kalau tidak mereka tidak mau mengakuinya sebagai seorang Raja. Sang
Paus membiarkannya menunggu berhari-hari dalam dingin yang kelu di depan
gerbang, sebelum menerimanya dan memberi pengampunan dosa. Harga yang harus
dibayar Heinrich cukup tinggi: Siapa yang masih sudi menghormati raja yang
merangkak-rangkak ke gereja? Ataukah ini sebuah langkah cerdik yang ia lakukan
semata-mata untuk menyelamatkan takhta?
Fridrich I th. 1152 (sebagai penegak hukum dan pelindung
wong cilik). Fridrich I dikenal dengan
sebutan Barbarossa (Rotbart = Janggut Merah). Bagi Fridrich,
gelar kaisar Romawi bukan hanya bermakna simbolis semata-mata. Ia menginginkan
seluruh itali tunduk pada kekuasaannya. Tahun-tahun selanjutnya Fridrich dan
penerusnya semakin sering berkelana melintasi pegunungan Alpen, memenangkan
pertempuran dan merayakannya, bahkan menjadikan wilayah itali selatan sebagai
bagian dari kekuasaannya –sampai akhirnya gagal karena pada zaman itu sarana
komunikasi dan alat kekuasaan belum menunjang untuk mengendalikan wilayah yang
terbentang mulai dari laut Utara sampai ke Silsilia. Dinasti Staufer (keluarga
besar Fridrich) berakhir di hadapan algojo, eksekutor hukuman mati atau merana
lahir bathin dalam penjara musuh. Sejak itulah Jerman dimulai era yang
mengerikan tanpa kaisar.
Kehidupan masyarakat, Kesatria, Borjuis,
dan Petani
Dengan runtuhnya imperium Romawi, sebagian besar kota yang
berada di Jerman pun turut tenggelam. Namun pada abad pertengahan (ke-12),
sentra-sentra ini tumbuh kembali dengan wajah baru dan terbentuk pula begitu
banyak kota-kota baru. Berkat perdagangan, kota-kota menjadi makmur dan banyak
petani mengangankan untuk meninggalkan desa, lalu pergi ke kota. “UDARA KOTA
MEMBAWA KEBEBASAN”, begitu pribahasa yang bisa pula diartikan secara harfiah.
Akibat banyaknya migrasi ke Kota, maka bermunculanlah kaum borjuis yang
berhasil menguasai perekonomian di kota-kota besar dan akhirnya mampu menyaingi
kaum bangsawan.
Dalam bidang arsitektur gaya Gotik mendesak
dominasi gaya Romanik. Para arsitek muda di Perancis sepanjang abad ke-12 lebih
cenderung ke gaya bangunan gagah yang menjulang tinggi. Maka berdirilah
katedral dari Chartres dan Reims. Warga kota Köln, Freiburg dan kota-kota
lainnya di Jerman berusaha meniru bangunan itu.
Kaum bangsawan pada umumnya merasa sebagai “tentara kristus”,
seperti yang terlihat secara jelas dalam perang salib. Banyak priyai dari
Jerman yang pergi ke Palestina dengan maksud untuk membebaskan tanah suci
tersebut dari umat muslim, namun banyak yang tidak kembali lagi.
Akhir Abad Pertengahan –Masa Krisis
Abad pertengahan merupakan masa penuh gejolak dan krisis,
kebangkrutan ekonomi dan otomatis perpecahan sosial. Namun yang terburuk adalah
wabah penyakit pes yang merajalela, yang sering disebut Der Schwarze Tod
“sakaratul maut kelam”. Pada abad ke-14 wabah ini menyebar ke seantereo benua
Eropa dalam beberapa gelomabng dan menghabiskan hampir seluruh penduduk di
sebagian daerah.
Peristiwa keagamaan terbesar pada zaman ini adalah konsili
paripurna di Konstanz. Lebih dari 3 tahun lamanya 29 Kardinal, sekitar 300
Uskup dan Monsinyur, 150 Raja dan kaum bangsawan bersidang di sebuah kota di
Danau Konstanz, yang dipimpin raja Jerman Sigismund dalam rangka penetapan
entitas dari Yesus Kristus. Tapi mengapa justru dipimpin oleh Raja dan bukan
oleh Paus? Bukankah pemimpin tertinggi gereja adalah Paus? Masalahnya adalah
bahwa sejak tahun 1490 terdapat tiga Paus. Sidang memutuskan dengan cara Voting
(karena perseteruan dan kebuntuan), sang reformator Jan Hus, yang menuntut
dikembalikannya kepapaan apostolos (Yesus Kristus) dan dengan pedas mengkritik
lembaga kepausan, sebagai murtad akhirnya menjalani hukuman mati dengan dibakar
tanggal 6 Juli 1415. Ketiga Paus yang saling berseteru di Konstanz dipecat dan
kemudian siding memilih seorang pemimpin baru gereja yang diakui oleh semua
pihak: Martin V.
Abad 15 – Zaman yang Kondusif untuk Ilmu Pengetahuan dan Seni
Setelah masa pengap di akhir abad pertengahan, kerajinan tangan,
ilmu pengetahuan dan seni mulai hidup lagi pada pertengahan abad 15.
Di Mainz, Johannes Guttenberg menemukan mesin
cetak dengan leter bergerak,
Peter Henlein membuat konstruksi jam saku untuk
pertama kali,
Galileo Galilei dan Astronom Nikolaus
Kopernicus berpendapat bahwa yang menjadi pusat tata surya kita adalah
matahari dan bukanlah bumi (pendapat ini sangat ditentang gereja pada saat
itu),
Albrecht Dürer salah seorang pelukis dan perupa ternama
dalam sejarah seni Jerman untuk pertama kali mencantumkan inisial namanya
dengan “AD”, yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh para pelukis di abad
pertengahan,
Ulrich von Hutten, philosof keturunan bangsawan Prancis ini
memang dipuja dimana-mana, namun karena peringatannya terhadap bangsa Jerman
agar menjaga persatuan dan kesatuan serta menghindari perang saudara, karena
pamfletnya tentang keburukan gereja dan lembaga kepausan, Hutten kehilangan
simpati dari semua pengikutnya, sehingga terpaksa harus melarikan diri ke
Swiss.
Martin Luther
Seorang biarawan kecil yang mampu mengguncang kepercayaan
penganut katolik. Martin Luther. Dalam 95 Thesisnya pada tahun 1517, ia
membeberkan pandangan surat pembebasan dosa oleh gereja katolik. Dinasti
Habsburg, yang sedang berkuasa merasa dikritik secara pedas. Bahwa orang bisa
mensucikan jiwanya dengan uang, itulah yang sangat ditentang Martin Luther.
walaupun ia tidak menempelkan sendiri tesisnya di pintu gereja istana
Wittenberg, seperti kisah legenda, dampaknya tetap saja dahsyat. tesisinya itu
merupakan cikal bakal refomasi di seluruh Eropa. Surat pembebasan doa yang
diperdagangkan ini hanyalah pemicu. Lutter mengembangkan kritik semacam itu
terhadap gereja katolik dan terutama terhadap Paus.
April 1521 Lutter dipanggil menghadap Karl V (sang kaisar dari
keluarga Habsburg yang berkuasa di Jerman) di Worms. Namun siapa yang mengira
bahwa biarawan keras kepala ini akan menganulir kritiknya, jelas keliru besar.
Luther tetap saja pada pendirian yang telah diucapkan dan ditulisnya. Bagi
gereja ia memang sejak dahulu sudah dianggap murtad, sekarang sang kaisar Karl
V memperjelas statusnya menjadi penjahat tanpa perlindungan hukum. Namun
berbeda dari Jan Hus di Konstanz, Luther tiba di Worms dengan selamat dan
mendapatkan perlindungan dari Adipati Fridrich dem Weisen dari Sakson. Di sana
ia menerjemahkan injil ke dalam bahasa Jerman. Skandal sungguh-sungguh menjadi
lengkap, ketika Martin Luther membangun sebuah keluarga dengan menikahi mantan
biarawati Katharina von Bora tanggal 13 Juni 1525. Karena status lajang seorang
pastor tidak bisa diterima oleh sang reformator “Martin Luther” yang semakin
banyak pengikutnya ini. Sejak saat itu umat protestan dan katolik di Jerman
saling bermusuhan satu sama lain. Perang pun berkecamuk selama 30 tahun lamanya
yang memakan korban sangat banyak dan diakhiri dengan perjanjian perdamaian di
Ausburg tahun 1555. Umat protestan dan katolik bersepakat bahwa penguasa
setempat yang boleh menentukan agama yang dianut penduduk di wilayahnya. Kaum
bangsawan dan priyai bebas memilih agama apa yang mereka anut, namun tidak
demikian halnya dengan rakyat jelata, mereka harus mengacu pada pimpinan
masing-masing.
Perang 30 tahun berdampak hancurnya demikian banyaknya kota dan
desa, dan kepedihan yang tak terperikan. Meskipun sudah terjadi perjanjian
perdamaian akan tetapi perdebatan mengenai agama di Eropa belum juga berakhir.
Raja Ludwig XIV dari Perancis memberlakukan sebuah keputusan beragama bagi kaum
Hugenott, yaitu julukan bagi kaum protestan di Perancis. Mereka dihadapakan
pada pilihan, bertobat dan pindah ke agama katolik atau meninggalkan Prancis.
Di seberang sana, di Berlin, Raja Fridrich Wilhelm von Brandenburg yang
mendengar terhadap penistaan terhadap saudara seimannya menjadi sangat marah.
Namun ia juga melihat tragedi pengusiran orang-orang ini sebagai sebuah
kesempatan bagi negerinya yang hancur lebur dan kehilangan banyak penduduk
selama perang 30 tahun tersebut. Orang-orang, terutama orang yang terlatih,
para pengerajin ulung, baginya adalah harta yang amat berharga. Raja Fridrich
Wilhelm mengundang mereka untuk datang kepadanya.
Pada tahun 1683 Raja Fridrich Wilhelm (sang kaisar) bermukim di
Wina. Kota yang terletak di tepi sungai Donau ini (sekarang Austria) berada
dalam bahaya besar karena bangsa Turki menyerang mereka, namun mereka dapat
dipukul mundur oleh sang kaisar, ketika melarikan diri, bangsa Turki tidak
hanya meninggalkan senjata mereka, permadani mahal dan barang pecah belah,
namun juga berkarung-karung biji kopi. Dan jika orang jerman dan Austria
sekarang lebih banyak minum kopi daripada orang manapun di belahan daunia
lainnya, maka itu terutama berkat mantan musuhnya yang ketika itu melarikan
diri sambil meninggalkan sumber kenikmatan berharga ini, yaitu
“kopi”.
Abad Pencerahan (AUFKLARUNG)
Pada zaman Fridrich der Groβe, bahasa Jerman tidak
pernah digunakan di puri-puri kerajaan. Bahasa kaum terpandang adalah bahasa
Perancis. Itu semua kini berubah drastis. Abad pencerahan membuat Jerman
berkembang dalam hal budaya. Yang meletakkan dasar perubahan ini adalah sang
Filusuf besar Gottfried Wilhelm Lebniz pada akhir abad ke-17. Namun baru
pertengahan abad ke-18 bermunculan para filosuf dan sastrawan Jerman klasik,
diantranya:
Gotthold Ephraim Lessing (drama-dramanya merupakan
pembelaan yang amat mengesankan terhadap toleransi),
Immanuel Kant (mengajak orang menggunakan pikiran dan akal
sehat),
Christopf Martin Wieland (menerjemahkan Shakespare ke dalam
bahasa Jerman),
Caroline Neuber (mengadakan pertunjukan “Theater Keliling”
dalam spirit pencerahan),
Johan Sebastian Bach, Georg Fridrich Händel, Willibald
Glück (para musisi handal),
Fridrich von Schiller dan Johann Wolfgang von
Goethe (Sastrawan Klasik Jerman),
Wolfgang Amadeus Mozart (Orang pertama penulis opera dalam
bahasa Jerman),
Ludwig van Beethoven (Komponis handal yang pada masa tuanya
nyaris tuli).
Masa keemasan bidang kebudayaan pada tahun-tahun tersebut
diwarnai dengan guncangan dalam bidang politik : “Revolusi Perancis” tanhun 14
Juli 1789. Di Negara-negara Jerman pun hampir semua raja memiliki kekuasaan
absolut dan mereka menatap cemas. Apakah kepala mereka juga akan dipenggal
seperti yang terjadi di Negara tetangga mereka di Perancis.
Di Perancis, seorang bangsawan kecil dari Korsika yang dalam
revolusi Perancis pertama kali muncul sebagai seorang jendral dan pada tanggal
2 Desember 1804 menobatkan diri sebagai “Kaisar Perancis” yaitu Napoleon
Bonaparte. Napoleon sendiri tidak merasa puas hanya dengan perancis, impiannya
tentu adalah seluruh Eropa. Para raja Jerman tidak memberikan perlawanan yang
cukup berarti. Seluruh Jerman pun takluk dan para raja Jerman terpaksa menjadi
sekutunya. Kaisar Austria bahkan harus menyerahkan puterinya untuk dijadikan
istri Napoleon Bonaparte. Kerajaan Jerman (Prusia) yang sangat berkuasa dan
dipimpin Fridrich Wilhelm III tunduk dalam sebuah perjanjian di Tilsit.
Reformasi ala Napoleon di Jerman dan di seluruh Eropa sebenarnya
memiliki sisi positif pula; yaitu, Dengan kekuatan senjatanya Napoleon membuat
banyak kemajuan, baik reformasi hukum, reformasi dibidang keuangan, hak
kebebasan berusaha, emansipasi kaum yahudi, kebijakan plotik dan sosial,
sedangkan dunia pendidikan direformasi secara mendasar oleh Wilhelm von
Humbolt.
Negara Prusia (Jerman) yang kembali gesit berkat para reformator
sekarang mampu memberikan perlawanan yang berarti terhadap penguasa Perancis
(Napoleon Bonaparte). Raja menyerukan kepada rakyatnya untuk membebaskan diri
dari pendudukan perancis. Hasilnya banyak para relawan, bahkan para mahasiswa
angkat senjata. Orang-orang kaya Prusia juga ikut menyumbangkan perhiasan emas
mereka untuk perang kemerdekaan ini. Dalam perang rakyat di Lepzig tanggal
16-19 Oktober 1813, Napoleon Bonaparte menderita kekalahan telak dan melarikan
diri ke Perancis. Negara Jerman pun kembali bebas dari cengkraman Prancis.
Perkembangan Bahasa Jerman (DEUTSCH)
Jackob Grimm dan Wilhelm Grimm (Bruder Grimm) mengumpulkan
dongeng-dongeng dan cerita-cerita lama, mulai dari kisah : Hänsel dan Gretel,
Putri Salju (Schnewittchen), Hans yang beruntung (Hans im Glück), dan si
Berkerudung Merah (Rotkäppchen). Selain mengumpulkan dongeng-dongeng Jerman,
Bruder Grimm (Grimm bersaudara) juga meneliti bahasa Jerman begitu mendalam,
sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Mereka juaga
menerbitkan sebuah kamus bahasa Jerman.
Atmosfir Revolusi
Revolusi Perancis meninggalkan kesan yang kuat terhadap seluruh
bangsa di Eropa. Di Negara-negara lain juga timbul kebangkitan, seperti : di
Belgia, di Spanyol, di Swiss, di Polandia, dan tidak ketinggalan di Jerman.
Tanggal 27 Mei 1832 sekitar 30.000 mahasiswa, pengerajin, warga dan petani
berbondong-bondong menuju istana Hambach di Pfalz sambil mengacung-acungkan
bendera Hitam-Merah-Emas. Mereka menuntut kebebasan politik dan penghapusan
negeri-negeri kecil untuk dilebur menjadi Negara yang lebih besar. Raja-raja
Jerman pun menjadi panik. Kerusuhanpun melanda Jerman. Di Berlin dan kota-kota
lainnya para pemberontak berjuang melawan tentara. Raja Fridrich Wilhelm IV
bahkan harus mengheningkan cipta untuk pejuang revolusi yang gugur dan menyematkan
lencana Hitam-Merah-Emas kea rah bajunya (warna kebebasan).
Ketika terjadi revolusi tahun 1848, dua orang Jerman menerbitkan
sebuah buku di Inggris. Dua Jerman ini adalah Karl Max dan Fridrich Engels, dan
buku mereka yaitu “Manifesto Komunis”. Dari tulisan mereka tercipta ideologi
baru, yaitu: Komunisme. Seruan mereka “Kaum proletar di seluruh dunia
bersatulah!” menggema di seluruh benua. Saat itu pula di Jerman terjadi
revolusi sosial.
Dengan adanya revolusi sosial, bermunculan banyak pabrik di Jerman.
Sebagaimana dalam banyak hal, industrialisasi mempunyai dua sisi: sisi pertama
adalah kondisi kerja yang sangat buruk, sedangkan sisi kedua adalah Jerman
menjadi bangsa industri yang membangkitkan kekuatan yang tidak terduga.
0 komentar:
Posting Komentar