Blogger news

Minggu, 30 Desember 2012

Asal Usul Bangsa Jerman dan Perkembangan Sejarah Jerman



Siapakah orang Jerman?

Bagaimana komunitas ini terbentuk?

Sebenarnya bangsa Jerman berasal dari Skandinavia Selatan. Karena keadaan cuaca yang memburuk pada abad ke-2 SM, mereka terpaksa mengungsi ke selatan. Maka tibalah mereka di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jerman. Di sana memang sebagian besar masih hutan belantara, namun demikian bukan berarti daerah itu tidak bisa didiami. Saat pertama kali masuk ke sana, bangsa Jerman bertemu dan bergabung dengan suku Celtis dan terdampar di perbatasan kerajaan Romawi. Karena sulitnya bahan pangan pada saat itu suku-suku tersebut sering menjarah makanan dari kota-kota jajahan Romawi.
Tak heran, kemarahan  sudah barang tentu tidak terhindarkan. Bangsa Romawi tentu tidak mengizinkan kaum bar-bar (Bart = janggut) yang tidak berpendidikan ini memasuki kerajaan mereka seenaknya menjarah secara membabi buta. Untuk menahan serangan bangsa Jerman ke selatan ini, pada abad pertama atau kedua SM, mereka membangun Limes (sebuah benteng perbatasan yang melintang lebih dari 500 Km dan membelah Jerman pas di tengah-tengah). Limes ini memisahkan provinsi-provinsi taklukan Romawi dari wilayah-wilayah yang selanjutnya diduduki oleh suku-suku bangsa Jerman. Akan tetapi Jangan dikira bahwa perbatasan tersebut yang terjadi hanyalah perang melulu. Antara bangsa Jerman dan Romawi pun terjalin hubungan dagang.
Bukan hanya itu: Bangsa Jerman yang hidup di luar Limes, semakin lama semakin menyerap gaya hidup dan kebudayaan sang penakluk. Banyak yang mampu menjadi tentara Romawi dan bahkan naik pangkat.  Pertanyaannya adalah; Apakah dengan itu bangsa Jerman menjadi penerus sejati Romawi? Sama sekali tidak. Contoh yang paling jelas adalah Raja Cherusk Arminus. Meskipun ia belajar di Roma, ia menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa asing. Pada tahun 9, tentaranya mengalahkan tentara Romawi di bawah pimpinan Varus di Hutan Teutoburg.
Bagaimana kehidupan bangsa Jerman di luar Limes? Setiap suku bangsa memiliki kepala suku yang menguasai daerah bebas. Sejak saat itu semakin sering saja perampok keturunan Jerman menjarah kota-kota taklukan Romawi, bahkan kota Romawi tidak lagi aman dari jangkauan mereka. Tanggal 23 Agustus tahun 476 imperium dunia ini berakhir, kaisar terakhir Romulus Agustulus dijatuhkan oleh tentaranya sendiri. Kawasan yang dulunya dikuasai bangsawan Romawi, yakni sampai ke Spanyol dan Afrika Utara, Akhirnya Jaruh ke tangan bansa Jerman.
Sementara itu, bangsa Jerman tidak terlalu paham bagaimana harus mengurus peninggalan budaya dan arsitektur Roma, mereka merasakan adanya daya tarik magis yang kuat dari agama musuh yang mereka taklukkan. Para misionaris akhirnya dapat mengkristenisasi bangsa Jerman dengan cara membuktikan kepada orang-orang Jerman tentang ketidakberdayaan dewa-dewa mereka. Di dekat Geismar ada pohon Eik yang konon sudah diberkati Dewa Donar, mereka menebang pohon itu lalu membangun gereja dari kayu pohon tersebut.
Sejak Runtuhnya imperium Romawi, bangsa Prancis bangkit dan memimpin bekas jajahan Romawi, mereka dipimpin oleh seorang raja, yaitu Raja Chlodwig yang dibaptis oleh Paus pada tahun 498. Secara Politis raja Chlodwig berhasil menyatukan bangsa Prancis (baik dengan cara kekerasan), yang pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil. Dari Gallia dan kawasan Jerman (bekas jajahan Romawi), ia mendirikan kekaisaran baru, yaitu kekaisaran Prancis. Keluarga Merowinger (nenek moyang Chlodwig) menguasai kekaisaran ini selama berabad-abad tanpa gangguan yang berarti.
Dari wilayah selatan pasukan Arab bergerak maju menuju Gallia melewati semenanjung Iberia dan terjadi pertempuran sengit.  Dalam pertempuran di Poitiers (Perancis Selatan)  pada bulan Oktober 732, Karl Martel (seorang menteri Perancis) berhasil menahan dan memukul mundur pasukan Arab.  Pemenang  pertempuran di Poitiers (Karl Matell) adalah nenek moyang dinasti Karolinger. Dari generasi ke generasi mereka mengabdi pada raja-raja keturunan Merowinger sebagai menteri, namun pada akhirnya mereka merebut takhta pada penguasa terakhir dari dinasti Merowinger.   

Karl der Groβe
Penguasa yang paling terkenal dari dinasti Karolinger adalah Karl der Groβe (Karl yang Agung). Pada awalnya dia harus berbagi kekuasaan dengan kakaknya, namun kematian dini sang kakak tahun 771 menjadikan Karl der Groβe sebagai penguasa tunggal. Ia mengembangkan wilayah kekuasaannya ke segala penjuru: ke Perancis Selatan dan Spanyol, ke Italia Utara dan Sakson. Karl der Groβe kemudian dinobatkan oleh Paus menjadi kaisar, kemudian ia menobatkan dirinya sendiri sebagai penerus penguasa Imperium Romawi. Suatu perbedaan dari kaisar-kaisar Romawi terdahulu; Karl der Groβe tidak mengendalikan pemerintahannya dari Roma. Baik ia maupun penerus-penerusnya sama-sama tidak menguasai ibukota dalam pengertian klasik. Mereka memerintah dari atas pelana dan berpindah-pindah dari satu puri ke puri lainnya. Tentu saja Karl der Groβe memiliki puri pavorit, yaitu Puri Achen. Tanggal 28 Januari 814 Karl der Groβe meninggal di Achen. Ornamennya masih utuh sampai saat ini; sebuah kapel segi delapan lengkap dengan takhta kekaisaran. Karl der Groβe bukan saja seorang politikus ulung, namun juga sangat menghormati pelestarian budaya dan ilmu pengetahuan.

Ludwig der Weise
Penerus Karl der Groβe adalah putera mahkota Ludwig der Weise. Ia berhasil menjaga keutuhan kerajaan, namun ia tidak berhasil menyamai keberhasilan ayahanda-nya yang banyak melakukan ekspansi kekuasaan. Pada tanggal 20 Juni 840 Ludwig der Weise meninggal dunia. Sepeninggal Ludwig der Weise terjadi perebutan kekuasaan oleh ketiga putranya. Perlu diketahui, dalam tradisi Jerman anak tertua tidak otomatis menjadi penerus. Hak waris harus dibagi rata kepada semua anak laki-laki (kedengarannya memang adil), tapi agak kontraproduktif jika menyangkut masalah kekuasaan yang luas.

Lothar  /  Karl der Kahle  /  Ludwig der Deutsche
Ketiga putra Ludwig der Weise, yang haus dengan kekuasaan itu mengadakan perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian VERDUN, yang membagi wilayah kerjaan Perancis menjadi tiga wilayah, yaitu: Lothar (mendapatkan kawasan tengah yang membentang dari Italia tengah melalui Lothringen sampai ke pantai laut utara), Karl der Kahle (mendapatkan kawasan Prancis Barat), dan Ludwig der Deutsche(Mendapatkan kawasan Perancis Timur).
Ketiga saudara ini mungkin tidak menyadari bahwa perjanjian yang telah mereka lakukan kelak akan menjadi landasan dalam pembentukan dua negara:  Prancis Barat (simpelnya menjadi negara Prancis sekarang), sedangkan negara Prancis Timur (Negara Jerman sekarang). Begitu pula negara-negara, yang berdiri di kawasan tengah, pada dasarnya mengacu pula pada perjanjian ini, demikian halnya batas-batas bahasa di antara masing-masing negara.
Karena yang menjadi tema bahasan kita di sini adalah sejarah Jerman, maka kita tinggalkan saja Prancis Barat dan alihkan perhatian kita selanjutnya terhadap segala kejadian di Perancis Timur (yang sekarang Jerman). Pemimpin terakhir dari dinasti Karolinger yang berkuasa di wilayah ini adalah Ludwig der Sohn (meninggal th. 911). Pemikiran rakyat Jerman pada saat itu adalah; Dari pada kembali bersatu dengan Prancis Barat (yang berarti harus takluk terhadap penguasa dari dinasti Karolinger), keturunan Perancis Timur lebih memilih raja yang bukan keturunan Karolinger. Setelah kematiannya pada bulan Desember 918 rakyat Perancis Timur tidak kembali ke pelukan keluarga Karl der Groβe, melainkan memilih Adipati Sakson “Heinrich” sebagai raja mereka. Hal ini menunjukkan sikap dewasa yang tidak lagi tergantung pada isu primordialisme sebagai keturunan Perancis.

Heinrich I  (Murni Orang Jerman)
Pria Sakson ini berhasil mengatasi segala kesulitan, terutama berkat kesediannya bekerja sama dengan pengusa-penguasa negara lain, dengan tidak memperlakukan mereka sebagai taklukan, melainkan sebagai partner. Heinrich dan para pengikutnya membangun kerja sama dengan gereja dan berhasil menjaga stabilitas keamanan politik dan ekonomi negeri Jerman.

Otto der Groβe
Penerus Heinrich I adalah puteranya, Otto. Pada awalnya ia harus bertikai dulu dengan sanak saudaranya, namun ia bukan hanya mampu mempertahankan mahkota dari segala rongrongan musuh saja, lebih dari itu, ia berhasil menetapkan aturan berupa penyerahan kekuasaan kepada putera mahkota. Otto berhasil menguasai seluruh kadipaten melalui jalinan pernikahan. Otto pun berhasil memposisikan dirinya sebagai seorang penerus kekaisaran Romawi. Di tangan Otto, para Paus ibarat bola mainan. Dua orang diantaranya ia tempatkan dalam pemerintahan. Ia bukan hanya sebagai penguasa Eropa, melainkan juga sebagai pemimpin rohani. Seperti juga pendahulunya Karl, ia pun dijuluki “Otto der Groβe”.

Kaisar-kaisar Jerman setelah Otto;
Setelah Otto mangkat, Takhta Kepausan mulai menguat, Raja Heinrich IV yang berusaha meniru para pendahulunya, yang ingin memegang kekaisaran Romawi dikucilkan oleh gereja. Raja Heinrich IV pun terpaksa pergi melintasi pegunungan Alpen padahal cuaca pada saat itu bersalju. Dia tahu; saat itu di wilayah Carnossa di Italia Utara bermukim Paus Gregor VII. Heinrich IV datang bukan dengan tujuan untuk berperang melawan sang Paus, melainkan dalam jubah seorang Penobat. Para bangsawan Jerman membujuknya untuk berdamai dengan sang Paus. Kalau tidak mereka tidak mau mengakuinya sebagai seorang Raja. Sang Paus membiarkannya menunggu berhari-hari dalam dingin yang kelu di depan gerbang, sebelum menerimanya dan memberi pengampunan dosa. Harga yang harus dibayar Heinrich cukup tinggi: Siapa yang masih sudi menghormati raja yang merangkak-rangkak ke gereja? Ataukah ini sebuah langkah cerdik yang ia lakukan semata-mata untuk menyelamatkan takhta?

Fridrich I th. 1152 (sebagai penegak hukum dan pelindung wong cilik). Fridrich I dikenal dengan sebutan Barbarossa (Rotbart = Janggut Merah). Bagi Fridrich, gelar kaisar Romawi bukan hanya bermakna simbolis semata-mata. Ia menginginkan seluruh itali tunduk pada kekuasaannya. Tahun-tahun selanjutnya Fridrich dan penerusnya semakin sering berkelana melintasi pegunungan Alpen, memenangkan pertempuran dan merayakannya, bahkan menjadikan wilayah itali selatan sebagai bagian dari kekuasaannya –sampai akhirnya gagal karena pada zaman itu sarana komunikasi dan alat kekuasaan belum menunjang untuk mengendalikan wilayah yang terbentang mulai dari laut Utara sampai ke Silsilia. Dinasti Staufer (keluarga besar Fridrich) berakhir di hadapan algojo, eksekutor hukuman mati atau merana lahir bathin dalam penjara musuh. Sejak itulah Jerman dimulai era yang mengerikan tanpa kaisar. 

Kehidupan masyarakat, Kesatria, Borjuis, dan Petani 
Dengan runtuhnya imperium Romawi, sebagian besar kota yang berada di Jerman pun turut tenggelam. Namun pada abad pertengahan (ke-12), sentra-sentra ini tumbuh kembali dengan wajah baru dan terbentuk pula begitu banyak kota-kota baru. Berkat perdagangan, kota-kota menjadi makmur dan banyak petani mengangankan untuk meninggalkan desa, lalu pergi ke kota. “UDARA KOTA MEMBAWA KEBEBASAN”, begitu pribahasa yang bisa pula diartikan secara harfiah. Akibat banyaknya migrasi ke Kota, maka bermunculanlah kaum borjuis yang berhasil menguasai perekonomian di kota-kota besar dan akhirnya mampu menyaingi kaum bangsawan.
Dalam bidang arsitektur gaya Gotik mendesak dominasi gaya Romanik. Para arsitek muda di Perancis sepanjang abad ke-12 lebih cenderung ke gaya bangunan gagah yang menjulang tinggi.  Maka berdirilah katedral dari Chartres dan Reims. Warga kota Köln, Freiburg dan kota-kota lainnya di Jerman berusaha meniru bangunan itu.
Kaum bangsawan pada umumnya merasa sebagai “tentara kristus”, seperti yang terlihat secara jelas dalam perang salib. Banyak priyai dari Jerman yang pergi ke Palestina dengan maksud untuk membebaskan tanah suci tersebut dari umat muslim, namun banyak yang tidak kembali lagi.

Akhir Abad Pertengahan –Masa Krisis
Abad pertengahan merupakan masa penuh gejolak dan krisis, kebangkrutan ekonomi dan otomatis perpecahan sosial. Namun yang terburuk adalah wabah penyakit pes yang merajalela, yang sering disebut  Der Schwarze Tod “sakaratul maut kelam”. Pada abad ke-14 wabah ini menyebar ke seantereo benua Eropa dalam beberapa gelomabng dan menghabiskan hampir seluruh penduduk di sebagian daerah.
Peristiwa keagamaan terbesar pada zaman ini adalah konsili paripurna di Konstanz. Lebih dari 3 tahun lamanya 29 Kardinal, sekitar 300 Uskup dan Monsinyur, 150 Raja dan kaum bangsawan bersidang di sebuah kota di Danau Konstanz, yang dipimpin raja Jerman Sigismund dalam rangka penetapan entitas dari Yesus Kristus. Tapi mengapa justru dipimpin oleh Raja dan bukan oleh Paus? Bukankah pemimpin tertinggi gereja adalah Paus? Masalahnya adalah bahwa sejak tahun 1490 terdapat tiga Paus. Sidang memutuskan dengan cara Voting (karena perseteruan dan kebuntuan), sang reformator Jan Hus, yang menuntut dikembalikannya kepapaan apostolos (Yesus Kristus) dan dengan pedas mengkritik lembaga kepausan, sebagai murtad akhirnya menjalani hukuman mati dengan dibakar tanggal 6 Juli 1415. Ketiga Paus yang saling berseteru di Konstanz dipecat dan kemudian siding memilih seorang pemimpin baru gereja yang diakui oleh semua pihak: Martin V. 

Abad 15 – Zaman yang Kondusif untuk Ilmu Pengetahuan dan Seni
Setelah masa pengap di akhir abad pertengahan, kerajinan tangan, ilmu pengetahuan dan seni mulai hidup lagi pada pertengahan abad 15.
 Di Mainz, Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak dengan leter bergerak,
 Peter Henlein membuat konstruksi jam saku untuk pertama kali, 
Galileo Galilei dan Astronom Nikolaus Kopernicus berpendapat bahwa yang menjadi pusat tata surya kita adalah matahari dan bukanlah bumi (pendapat ini sangat ditentang gereja pada saat itu),
Albrecht Dürer salah seorang pelukis dan perupa ternama dalam sejarah seni Jerman untuk pertama kali mencantumkan inisial namanya dengan “AD”, yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh para pelukis di abad pertengahan, 
Ulrich von Hutten, philosof keturunan bangsawan Prancis ini memang dipuja dimana-mana, namun karena peringatannya terhadap bangsa Jerman agar menjaga persatuan dan kesatuan serta menghindari perang saudara, karena pamfletnya tentang keburukan gereja dan lembaga kepausan, Hutten kehilangan simpati dari semua pengikutnya, sehingga terpaksa harus melarikan diri ke Swiss.
Martin Luther
Seorang biarawan kecil yang mampu mengguncang kepercayaan penganut katolik. Martin Luther. Dalam 95 Thesisnya pada tahun 1517, ia membeberkan pandangan surat pembebasan dosa oleh gereja katolik. Dinasti Habsburg, yang sedang berkuasa merasa dikritik secara pedas. Bahwa orang bisa mensucikan jiwanya dengan uang, itulah yang sangat ditentang Martin Luther. walaupun ia tidak menempelkan sendiri tesisnya di pintu gereja istana Wittenberg, seperti kisah legenda, dampaknya tetap saja dahsyat. tesisinya itu merupakan cikal bakal refomasi di seluruh Eropa. Surat pembebasan doa yang diperdagangkan ini hanyalah pemicu. Lutter mengembangkan kritik semacam itu terhadap gereja katolik dan terutama terhadap Paus.
April 1521 Lutter dipanggil menghadap Karl V (sang kaisar dari keluarga Habsburg yang berkuasa di Jerman) di Worms. Namun siapa yang mengira bahwa biarawan keras kepala ini akan menganulir kritiknya, jelas keliru besar. Luther tetap saja pada pendirian yang telah diucapkan dan ditulisnya. Bagi gereja ia memang sejak dahulu sudah dianggap murtad, sekarang sang kaisar Karl V memperjelas statusnya menjadi penjahat tanpa perlindungan hukum. Namun berbeda dari Jan Hus di Konstanz, Luther tiba di Worms dengan selamat dan mendapatkan perlindungan dari Adipati Fridrich dem Weisen dari Sakson. Di sana ia menerjemahkan injil ke dalam bahasa Jerman. Skandal sungguh-sungguh menjadi lengkap, ketika Martin Luther membangun sebuah keluarga dengan menikahi mantan biarawati Katharina von Bora tanggal 13 Juni 1525. Karena status lajang seorang pastor tidak bisa diterima oleh sang reformator “Martin Luther” yang semakin banyak pengikutnya ini. Sejak saat itu umat protestan dan katolik di Jerman saling bermusuhan satu sama lain. Perang pun berkecamuk selama 30 tahun lamanya yang memakan korban sangat banyak dan diakhiri dengan perjanjian perdamaian di Ausburg tahun 1555. Umat protestan dan katolik bersepakat bahwa penguasa setempat yang boleh menentukan agama yang dianut penduduk di wilayahnya. Kaum bangsawan dan priyai bebas memilih agama apa yang mereka anut, namun tidak demikian halnya dengan rakyat jelata, mereka harus mengacu pada pimpinan masing-masing.
Perang 30 tahun berdampak hancurnya demikian banyaknya kota dan desa, dan kepedihan yang tak terperikan. Meskipun sudah terjadi perjanjian perdamaian akan tetapi perdebatan mengenai agama di Eropa belum juga berakhir. Raja Ludwig XIV dari Perancis memberlakukan sebuah keputusan beragama bagi kaum Hugenott, yaitu julukan bagi kaum protestan di Perancis. Mereka dihadapakan pada pilihan, bertobat dan pindah ke agama katolik atau meninggalkan Prancis. Di seberang sana, di Berlin, Raja Fridrich Wilhelm von Brandenburg yang mendengar terhadap penistaan terhadap saudara seimannya menjadi sangat marah. Namun ia juga melihat tragedi pengusiran orang-orang ini sebagai sebuah kesempatan bagi negerinya yang hancur lebur dan kehilangan banyak penduduk selama perang 30 tahun tersebut. Orang-orang, terutama orang yang terlatih, para pengerajin ulung, baginya adalah harta yang amat berharga. Raja Fridrich Wilhelm mengundang mereka untuk datang kepadanya. 
Pada tahun 1683 Raja Fridrich Wilhelm (sang kaisar) bermukim di Wina. Kota yang terletak di tepi sungai Donau ini (sekarang Austria) berada dalam bahaya besar karena bangsa Turki menyerang mereka, namun mereka dapat dipukul mundur oleh sang kaisar, ketika melarikan diri, bangsa Turki tidak hanya meninggalkan senjata mereka, permadani mahal dan barang pecah belah, namun juga berkarung-karung biji kopi. Dan jika orang jerman dan Austria sekarang lebih banyak minum kopi daripada orang manapun di belahan  daunia lainnya, maka itu terutama berkat mantan musuhnya yang ketika itu melarikan diri sambil meninggalkan sumber kenikmatan berharga ini, yaitu “kopi”.  

Abad Pencerahan (AUFKLARUNG)
Pada zaman Fridrich der Groβe, bahasa Jerman tidak pernah digunakan di puri-puri kerajaan. Bahasa kaum terpandang adalah bahasa Perancis. Itu semua kini berubah drastis. Abad pencerahan membuat Jerman berkembang dalam hal budaya. Yang meletakkan dasar perubahan ini adalah sang Filusuf besar Gottfried Wilhelm Lebniz pada akhir abad ke-17. Namun baru pertengahan abad ke-18 bermunculan para filosuf dan sastrawan Jerman klasik, diantranya: 
Gotthold Ephraim Lessing (drama-dramanya merupakan pembelaan yang amat mengesankan terhadap toleransi),
Immanuel Kant (mengajak orang menggunakan pikiran dan akal sehat),
Christopf Martin Wieland (menerjemahkan Shakespare ke dalam bahasa Jerman), 
Caroline Neuber (mengadakan pertunjukan “Theater Keliling” dalam spirit pencerahan),
Johan Sebastian Bach, Georg Fridrich Händel, Willibald Glück (para musisi handal),
Fridrich von Schiller dan Johann Wolfgang von Goethe  (Sastrawan Klasik Jerman),
Wolfgang Amadeus Mozart (Orang pertama penulis opera dalam bahasa Jerman),
Ludwig van Beethoven (Komponis handal yang pada masa tuanya nyaris tuli).
Masa keemasan bidang kebudayaan pada tahun-tahun tersebut diwarnai dengan guncangan dalam bidang politik : “Revolusi Perancis” tanhun 14 Juli 1789. Di Negara-negara Jerman pun hampir semua raja memiliki kekuasaan absolut dan mereka menatap cemas. Apakah kepala mereka juga akan dipenggal seperti yang terjadi di Negara tetangga mereka di Perancis.
Di Perancis, seorang bangsawan kecil dari Korsika yang dalam revolusi Perancis pertama kali muncul sebagai seorang jendral dan pada tanggal 2 Desember 1804 menobatkan diri sebagai “Kaisar Perancis” yaitu Napoleon Bonaparte. Napoleon sendiri tidak merasa puas hanya dengan perancis, impiannya tentu adalah seluruh Eropa. Para raja Jerman tidak memberikan perlawanan yang cukup berarti. Seluruh Jerman pun takluk dan para raja Jerman terpaksa menjadi sekutunya. Kaisar Austria bahkan harus menyerahkan puterinya untuk dijadikan istri Napoleon Bonaparte. Kerajaan Jerman (Prusia) yang sangat berkuasa dan dipimpin Fridrich Wilhelm III tunduk dalam sebuah perjanjian di Tilsit.
Reformasi ala Napoleon di Jerman dan di seluruh Eropa sebenarnya memiliki sisi positif pula; yaitu, Dengan kekuatan senjatanya Napoleon membuat banyak kemajuan, baik reformasi hukum, reformasi dibidang keuangan, hak kebebasan berusaha, emansipasi kaum yahudi, kebijakan plotik dan sosial, sedangkan dunia pendidikan direformasi secara mendasar oleh Wilhelm von Humbolt.
Negara Prusia (Jerman) yang kembali gesit berkat para reformator sekarang mampu memberikan perlawanan yang berarti terhadap penguasa Perancis (Napoleon Bonaparte). Raja menyerukan kepada rakyatnya untuk membebaskan diri dari pendudukan perancis. Hasilnya banyak para relawan, bahkan para mahasiswa angkat senjata. Orang-orang kaya Prusia juga ikut menyumbangkan perhiasan emas mereka untuk perang kemerdekaan ini. Dalam perang rakyat di Lepzig tanggal 16-19 Oktober 1813, Napoleon Bonaparte menderita kekalahan telak dan melarikan diri ke Perancis. Negara Jerman pun kembali bebas dari cengkraman Prancis.

Perkembangan Bahasa Jerman (DEUTSCH)
Jackob Grimm dan Wilhelm Grimm (Bruder Grimm) mengumpulkan dongeng-dongeng dan cerita-cerita lama, mulai dari kisah : Hänsel dan Gretel, Putri Salju (Schnewittchen), Hans yang beruntung (Hans im Glück), dan si Berkerudung Merah (Rotkäppchen). Selain mengumpulkan dongeng-dongeng Jerman, Bruder Grimm (Grimm bersaudara) juga meneliti bahasa Jerman begitu mendalam, sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Mereka juaga menerbitkan sebuah kamus bahasa Jerman.

Atmosfir Revolusi
Revolusi Perancis meninggalkan kesan yang kuat terhadap seluruh bangsa di Eropa. Di Negara-negara lain juga timbul kebangkitan, seperti : di Belgia, di Spanyol, di Swiss, di Polandia, dan tidak ketinggalan di Jerman. Tanggal 27 Mei 1832 sekitar 30.000 mahasiswa, pengerajin, warga dan petani berbondong-bondong menuju istana Hambach di Pfalz sambil mengacung-acungkan bendera Hitam-Merah-Emas. Mereka menuntut kebebasan politik dan penghapusan negeri-negeri kecil untuk dilebur menjadi Negara yang lebih besar. Raja-raja Jerman pun menjadi panik. Kerusuhanpun melanda Jerman. Di Berlin dan kota-kota lainnya para pemberontak berjuang melawan tentara. Raja Fridrich Wilhelm IV bahkan harus mengheningkan cipta untuk pejuang revolusi yang gugur dan menyematkan lencana Hitam-Merah-Emas kea rah bajunya (warna kebebasan).
Ketika terjadi revolusi tahun 1848, dua orang Jerman menerbitkan sebuah buku di Inggris. Dua Jerman ini adalah Karl Max dan Fridrich Engels, dan buku mereka yaitu “Manifesto Komunis”. Dari tulisan mereka tercipta ideologi baru, yaitu: Komunisme. Seruan mereka “Kaum proletar di seluruh dunia bersatulah!” menggema di seluruh benua.  Saat itu pula di Jerman terjadi revolusi sosial.
Dengan adanya revolusi sosial, bermunculan banyak pabrik di Jerman. Sebagaimana dalam banyak hal, industrialisasi mempunyai dua sisi: sisi pertama adalah kondisi kerja yang sangat buruk, sedangkan sisi kedua adalah Jerman menjadi bangsa industri yang membangkitkan kekuatan yang tidak terduga.


0 komentar:

Posting Komentar